Rifa'i, Achmad (2018) Poligami dalam perspektif kesetaraan gender (studi pemikiran Siti Musdah Mulia dan Muhammad Quraish Shihab). Undergraduate thesis, IAIN Palangka Raya.
Text
Skripsi Achmad Rifa'i - 1402110442.pdf Download (2MB) |
Abstract
Poligami merupakan persoalan klasik tapi akan terus menarik untuk diperbincangkan. Pada era modern ini di mana isu kesetaraan gender semakin menguat, persoalan poligami mendapat tantangan yang berarti. Banyak kalangan yang merumuskan argumen, baik untuk melegitimasinya maupun untuk menolaknya. Ayat-ayat Alquran, khususnya yang berkaitan dengan poligami, lalu ditafsirkan dengan mendasarkan pada fakta sosial yang berkembang ataupun karena pertimbangan kebutuhan tertentu. Dalam konteks demikian, Siti Musdah Mulia dan Muhammad Quraish Shihab mencoba mencetuskan pemikiran yang mendialogkan antara teks yang berkaitan poligami dengan realita pada saat ini.
Fokus penelitian ini adalah menguraikan dan membandingkan antara pemikiran Musdah dan Quraish tentang poligami, serta relevansinya dengan konteks sekarang di Indonesia. Adapun jenis penelitiannya adalah penelitian kepustakaan (library research). Teknik pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi dan wawancara. Pendekatan yang digunakan pendekatan fikih, pendekatan kontekstual dan pendekatan historis-kritis-filosofis. Penyajian data menggunakan metode deskriptif dan deduktif. Analisis data menggunakan metode deskriptif-komparatif dan content analysis serta dikuatkan dengan uṣūl al-fiqh.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah: (1) Siti Musdah Mulia berpendapat bahwa poligami adalah haram lighairih (haram sebab aksesnya). Adapun Muhammad Quraish Shihab menganganggap poligami sebagai pintu darurat, dan pembolehannya pun disertai syarat yang ketat. (2) Konsep kesetaraan gender yang digagas oleh Musdah dan Quraish memiliki kesamaan yaitu menolak persamaan secara menyeluruh, dan memandang masih perlunya perbedaan laki-laki dan perempuan terutama yang berhubungan dengan fungsi reproduksi. Selain itu, Musdah dan Quraish juga berpendapat bahwa poligami bukan perintah apalagi kewajiban. Adapun perbedaan kesimpulan hukum dari keduanya adalah disebabkan dari berbedanya memandang syarat kebolehan poligami, yaitu adil. Musdah tidak memisahkan antara adil secara kualitatif dan kuantitatif, sedangkan Quraish membedakan antara keduanya. (3) Berdasarkan budaya hukum Islam yang berkembang di Indonesia, maka pemikiran Quraish yang lebih relevan di terapkan di Indonesia pada saat ini. Hal itu juga sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di indonesia.
ABSTRACT
Polygamy is a classic problem, but it is always interested to talk about. In this modern era, gender equality issues are getting stronger, the issue of polygamy faces significant challenges. Many people are formulating arguments, both to legitimize and to reject it. The Qur'anic verses, especially those relating to polygamy, are then interpreted by basing on the social facts or by the consideration of a particular need. In such a context, Siti Musdah Mulia and Muhammad Quraish Shihab try to spark the idea of dialogue between the texts related to polygamy and the reality at this time.
The focus of this research described and compared Musdah and Quraish thoughts on polygamy, and its relevance to the current context in Indonesia. The type of this research was library research. The data are taken from the interview and documentation. Fikh approach, contextual approach and historical-critical-philosophical approach used in this research. The data presented by descriptive and deductive method. Descriptive-comparative method and content analysis and reinforced with uṣūl al-fiqh used to analysis the data.
The conclusions of this study were: (1) Siti Musdah Mulia argued that polygamy is haram lighairih (haram because its access). As for Muhammad Quraish Shihab considered polygamy as an emergency exit, and its acquisition was accompanied by strict conditions. (2) The concept of gender equality initiated by Musdah and Quraish has the same resemblance of rejecting the equation as a whole, and looking at the still need for differences in men and women especially those related to reproductive function. In addition, Musdah and Quraish also argued that polygamy is not a duty. As far it has differences in legal conclusions of both is due to the different view of polygamy permissibility, that is fair. Musdah did not apart fair qualitatively and quantitatively, while Quraish distinguish both of them. (3) Based on the Islamic culture in Indonesia, Quraish thought that more relevant to apply in Indonesia at this time. It is also in line with the prevailing laws and regulations in Indonesia.
Item Type: | Thesis (Undergraduate) |
---|---|
Uncontrolled Keywords: | Poligami; Kesetaraan Gender |
Subjects: | 18 LAW AND LEGAL STUDIES > 1801 Law > 180128 Islamic Family Law > 18012899 Islamic Family Law not elsewhere classified |
Divisions: | Fakultas Syariah > Jurusan Syariah > Program Studi Hukum Keluarga Islam |
Depositing User: | puttry puttry ekaputri |
Date Deposited: | 21 Jan 2019 06:48 |
Last Modified: | 19 Feb 2020 04:19 |
URI: | http://digilib.iain-palangkaraya.ac.id/id/eprint/1282 |
Actions (login required)
View Item |