Maimunah, Maimunah (2009) Ila’ suami istri dalam perspektif Imam Malik dan Syekh Mutawalli Asy Sya’rawi. Undergraduate thesis, IAIN Palangka Raya.
Text
Maimunah - 050 211 0240.pdf Download (12MB) |
Abstract
Ila menjadi salah satu persoalan yang menarik untuk diteliti berdasarkan fenomena "pisah ranjang" yang marak terjadi di kehidupan rumah tangga muslim saat ini. Tujuan utama penelitian ini untuk mengkaji status hukum īlā' baik dilakukan suami maupun istri yang dikembangkan melalui komparasi pemikiran Imam Malik dan Syekh Mutawalli asy-Sya'rawi. Data-data yang diperoleh dalam penelitian kepustakaan ini disajikan melalui metode deduktif dan deskriptif yang kemudian dianalisis dengan menggunakan metode content analysis, hermeneutik
dan komparatif. Setelah itu hasil penelitian tersebut diinterpretasikan terutama berkaitan dengan relevansinya di zaman sekarang. Hasil dari penelitian menunjukkan adanya persamaan dan perbedaan pandangan Imam Malik dan Syekh Mutawalli asy-Sya'rawi tentang īlā'. Persamaan pandangan dua tokoh tersebut adalah dilihat dari bentuk sumpah yang tidak mengikat, subjek īlā' adalah suami dan objeknya adalah istri dan pembayaran kafarat sumpah apabila sumpah itu dicabut. Perbedaannya terkait dengan masa īlā', bagi Imam Malik īlā' dapat
terjadi setelah masa empat bulan, sedangkan bagi Syekh Mutawalli asy-Sya'rawi tidak perlu habis masa empat bulan apabila suami ingin kembali maka hal tersebut diperbolehkan. Talak sebagai akibat dari īlā' menurut Imam Malik adalah talak raj'i yang berarti berlaku masa idah bagi istrinya, sedangkan Syekh Sya'rawi menganggap selama empat bulan itu istri secara tidak langsung telah melaksanakan idah, sehingga termasuk kepada talak bain. Pandangan Imam Malik maupun Syekh Mutawalli asy-Sya'rawi tidak ditemukan boleh atau tidaknya istri melakukan īlā' kepada suaminya. Apabila dikaji kembali pendapat Syekh Mutawalli asy-Sya'rawi bahwa nusyuz tidak hanya dilakukan oleh istri namun juga dapat dilakukan oleh suami, maka īlā' tampaknya tidak hanya dilakukan oleh suami pada istrinya yang nusyuz, namun juga dapat dilakukan istri pada suaminya yang nusyuz. Adanya persamaan 'illat (sebab atau motivasi hukum) yaitu nusyüz itulah yang menjadikan istri boleh berbuat īlā' pada suaminya. Tentunya semua ini dilakukan dalam keadaan darurat selama tidak diperoleh solusi lain selain īlā' baik oleh suami maupun istri dan untuk mencapai kemaslahatan agar hak masing-masing tidak terabaikan. Model konsentrasi nalar seperti ini bukanlah hal yang baru, namun 'Umar bin Khattab juga telah melakukan hal yang sama walaupun dalam kasus yang berbeda. Seperti tidak membagikan zakat kepada para muallaf, tidak memotong tangan pencuri ketika masa krisis ekonomi dan banyak lagi pemikiran-pemikiran yang dihasilkan dari konsentrasi nalar mujtahid ini. Semua ini didasari adanya 'illat yang mendorong timbulnya Fikih baru dan untuk mencapai kemaslahatan dalam menanggapi pelbagai perubahan. Berhaknya istri berbuat īlā' patut untuk dipertimbangkan dalam kebijakan hukum Islam dan Undang-undang perkawinan di Indonesia.
Item Type: | Thesis (Undergraduate) |
---|---|
Uncontrolled Keywords: | Pisah ranjang; Suami istri |
Subjects: | 18 LAW AND LEGAL STUDIES > 1801 Law > 180128 Islamic Family Law > 18012899 Islamic Family Law not elsewhere classified TAJUK SUBJEK ISLAM > Fiqih > Hukum Perkawinan (Munakahat) |
Divisions: | Fakultas Syariah > Jurusan Syariah > Program Studi al-Akhwal al-Syakhshiyyah |
Depositing User: | puttry puttry ekaputri |
Date Deposited: | 25 Mar 2024 12:37 |
Last Modified: | 25 Mar 2024 12:43 |
URI: | http://digilib.iain-palangkaraya.ac.id/id/eprint/5397 |
Actions (login required)
View Item |