Pengaturan kawin beda agama (studi ktitis Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan)

Rizani, Akhmad Kamil (2020) Pengaturan kawin beda agama (studi ktitis Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan). Masters thesis, IAIN Palangka Raya.

[img] Text
Akhmad Kamil Rizani -18014080.pdf

Download (3MB)

Abstract

Adanya kerancuan dalam pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia dan status anak dari perkawinan beda agama sehingga menjadi permasalahan serius kedepannya di masyarakat. Karena berdasarkan pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 dijelaskan mengenai penegasan peran keagamaan dan kepercayaan dari suatu perkawinan, dimana disebutkan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Hal ini berbenturan dengan implikasi ketentuan pasal Pasal 35 Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan yang menjadikan pasangan kawin beda agama sah jika mendapat penetapan pengadilan.

Metodologi penelitian ini menggunakan pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual, teknik pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi kemudian diolah dan dianalisis menggunakan metode deskriftif kualitatif terhadap Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.

Hasil penelitian ini adalah Pengaturan kawin beda agama di Indonesia menurut norma hukum yang dibangun dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan dijelaskan mengenai penegasan peran keagamaan dan kepercayaan dari suatu perkawinan, dimana disebutkan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Makna yang terkandung dalam Pasal 2 ayat 1 dapat ditafsirkan secara umum bahwa untuk menilai sah atau tidaknya suatu perkawinan, negara menyerahkan kepada masing-masing agama dan kepercayaan dimasyarakat untuk menilainya. Sehingga norma hukum yang terkandung dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 Tentang Perawinan adalah norma yang sifatnya perintah bukan norma larangan. Negara tidak melarang tegas perkawinan beda agama akan tetapi negara memerintahkan kepada agama dan kepercayaan untuk memberikan penilaian sah atau tidak kawin beda agama. Konstruksi pengaturan kawin beda agama perspektif hifdzun nasab maqashid syariah harus segera dilaksanakan, mengingat perkawinan beda agama sangat berpotensi melahirkan persoalan hukum di kemudian hari, terlebih persoalan kedudukan anak yang dilahirkan. perkawinan yang sah akan melahirkan anak-anak yang sah. Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah mempunyai hubungan hukum hanya dengan ibunya. Dengan demikian segala hak anak terhadap bapaknya akan hilang dan tidak diakui oleh hukum negara. Banyaknya dampak negatif perkawinan beda agama terhadap anak menimbulkan kerugian (mafsadah) lebih besar daripada kemanfaatannya (maslahah), sehingga tidak layak dan patut untuk dilakukan.

Abstract

The confusion in the regulation of interfaith marriages in Indonesia and the status of children of interfaith marriages so that it becomes a serious problem in the social strata of society. This is based on article 2 paragraph 1 of Law No. 16 of 2019 explained about the affirmation of the religious role and belief of a marriage, which stated that marriage is legal, if done according to the law of each religion and belief. This conflicts with the implications of the provisions of Article 35 of Law No. 23 of 2006 concerning Population Administration which makes interfaith married couples legal if they receive a court decision.

This research method used a statute approach and conceptual approach, the data collection techniques used the documentation method and then processed and analyzed using the qualitative descriptive methods to Law No. 16 of 2019 concerning Marriage and Law No. 23 of 2006 concerning Population Administration.

The results of the study were the regulation of interfaith marriages in Indonesia according to legal norms established in Article 2 paragraph 1 of Law No. 16 of 2019 concerning Marriage explained about the affirmation of the religious role and belief of a marriage, which stated that marriage is legal, if done according to the law of each religion and belief. The meaning contained in Article 2 paragraph 1 can be interpreted generally in order to judge whether a marriage is valid or not, the state surrenders to each religion and belief in the community to judge it. So the legal norms contained in Article 2 paragraph 1 of Law No. 16 of 2019 concerning Marriage is a norm which is an order not a prohibited norm. The state does not prohibit interfaith marriages but the state orders the religions and beliefs to provide legal or unmarried interfaith judgments. The construction of interfaith marriage arrangement perspective of hifdzun nasab maqashid sharia must be implemented immediately, considering interfaith marriages have the potential to give birth to legal problems in the future, especially the problem of the position of children born. legal marriage will give birth to legitimate children. A child born from an illegitimate marriage has a legal relationship only with his mother. Thus all children's rights to their fathers will be lost and not recognized by state law. The many negative impacts of interfaith marriages on children cause losses (mafsadah) greater than their usefulness (maslahah), so they are not feasible and worth doing.

Item Type: Thesis (Masters)
Uncontrolled Keywords: Perkawinan; Beda Agama; Studi Kritis
Subjects: 18 LAW AND LEGAL STUDIES > 1801 Law > 180128 Islamic Family Law > 18012820 Nikah Beda Agama (Inter-Religious Marriage)
Divisions: Pascasarjana > Program Studi Magister Hukum Keluarga
Depositing User: Unnamed user with email daniaty_marina@yahoo.com
Date Deposited: 14 Jul 2021 08:06
Last Modified: 14 Jul 2021 08:06
URI: http://digilib.iain-palangkaraya.ac.id/id/eprint/3213

Actions (login required)

View Item View Item